Setelah mengantar Sarah pulang, Stanley kembali lagi kerumahku untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Aku nggak nyangka deh anaknya rese begitu.." ucapku setelah aku menceritakan percakapanku dengan Sarah tadi. "Jadi gimana donk? Sekarang kamu sudah tahu dengan pasti, dia adalah Sarah yang mantan pacarnya Jason.. lalu?" Aku termenung mendengar pertanyaan Stanley.
"Aku nggak tahu Stan. Aku hanya tidak rela melihatnya merebut Jason dariku... Dia tidak pantas mendapatkan Jason lagi.." ucapku dengan mata menerawang. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
"Kalau begitu, buktikan padanya, Jason lebih memilih kamu.."
Aku menatap Stanley lama sekali... sejujurnya aku agak ragu apakah Jason akan memilih diriku. Aku tahu, seberapa besar pun luka yang pernah ditinggalkan Sarah, Jason akan selalu memaafkannya. Aku pun pernah terluka karena alasan yang sama. Benarkah Jason akan memilihku?
Seperti bisa membaca pikiranku, Stanley menggenggam tanganku erat.
"Ambillah cinta yang menjadi hak kamu sebelum kamu menyesal.." ia menyakinkanku.
Ucapan Stanley seperti memberiku sebuah keyakinan. aku mengangguk, "Kamu benar, Stan.. Mungkin ini sudah saatnya.."
Esoknya, aku memutuskan untuk menelpon Sarah. "Ini aku, Bianca.." ucapku dingin.
"Oh... ada apa?" tanyanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa antara kami.
"Katamu, kamu bisa merebut Jason kembali. Aku minta kamu buktikan itu.." Ia terdiam sebentar.
"Bagaimana kalau kita ubah permainannya. Kalau kamu bisa buktikan, Jason lebih memilihmu daripada aku, aku yang akan pergi.."
"Caranya?" tanyaku.
"Simple saja. Aku tunggu kamu di pesta pernikahan Rosa..."
"Apa kamu bilang? Kamu juga diundang?" tanyaku kaget."
"Bukan urusanmu.." jawabnya dingin.
Kini aku terdiam sebentar. "Baik.. Aku harap kamu tepati ucapanmu.." Ia lalu menutup telpon itu begitu saja.
Tidak lama setelah kejadian itu, aku dengar dari Stanley, Sarah kembali ke Jakarta. Aku sendiri tidak pernah berbicara lagi dengannya. Aku tidak pernah merasakan kebencian yang begitu dalam terhadap seseorang sebelumnya. Bukan hanya karena aku merasa ia adalah sainganku, namun juga karena sikapnya yang terlalu meremehkanku.
"Ca, kamu yakin, kamu akan back for good?" tanya Stanley selagi kami makan malam bersama. Lagu Forever Love-nya Gary Barlow menemani kami.
"Cepat atau lambat aku tetap harus kembali kan?" aku memain-mainkan nasi di piringku dengan tidak selera.
"I'll miss you.." ucapnya. Aku tertawa.
"Ca.." panggilnya lagi. "Apakah kamu dah siap bertemu dengan Jason?" Aku spontan mengangkat bahuku. "Aku agak takut Stan... Tapi kehadiran Sarah seperti mendorong aku untuk menerima kenyataan bahwa aku masih mencintai Jason... Ia seperti memberi aku keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak pernah berani aku ambil sebelumnya.." aku menatap Stanley kosong.
"Bagaimana kalau nanti Jason ternyata memilih Sarah?" tanya Stanley seketika.
Aku agak kaget dengan pertanyaan Stanley. aku selalu takut memikirkan kemungkinan itu.
"Aku doakan ia bahagia dengan Sarah.." "Lalu bagaimana denganmu?" "Entahlah..."
Stanley menggenggam tanganku hangat. "Kalau itu terjadi, kamu harus ingat, aku selalu di sini, mendukungmu.."
"Terima kasih Stan.." Stanley tersenyum. "Jangan khawatir. Hal itu takkan terjadi karena Jason pasti memilihmu.."
"Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
"Karena aku tahu, Jason bukan laki-laki bodoh yang mau melepaskanmu begitu saja.."
Aku tersenyum. Aku mempererat genggaman tangan kami. Saat bersama Stanley, aku menemukan apa yang disebut orang sebagai ketenangan.
"Jadi Stan.. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku? yah begini-begini saja.." jawabnya dengan gayanya yang lucu..
"Kamu nggak cari pacar? Aku tahu kok ada beberapa bule yang demen sama kamu.." ledekku.
"Wah.. males aku ama bule, nanti kalo dah nikah pasti pada melar... Aku butuh yang kurus donk, supaya nggak berebutan makanan... Sekalian memperbaiki keturunan... Masa dari generasi ke generasi keluarga besar-besar semua sih??"
Aku tertawa mendengar komentarnya. "Stan, kayaknya yang jadi istri kamu pasti lama-lama juga gendut soalnya dimasakin yang enak-enak terus sih.."
"Ah.. tuh kamu aja makan dari tadi kaga abis-abis.. Nggak enak yah?" gaya sok ngambeknya mulai keluar.
"Maap deh.. Abisnya lagi ga enak badan nih... Tau sendiri kan?" aku mengedipkan mataku.
"Nggak, nggak tahu.. Aku kan LAKI-LAKI!" lagi-lagi ia membuatku tertawa.
"Aduh Stan.. aku nggak bisa bayangin nih.. di Jakarta nanti bakalan nggak ada kamu.." ucapku serius.
"Siapa bilang?"
"Hah? kamu ke Jakarta?" tanyaku kaget. Ia tersenyum nakal, namun aku tah, senyumannya itu berarti 'iya'.
Aku langsung berteriak kegirangan dan memeluknya.
"Eh, jangan kesenengan dulu... Aku cuma liburan di sana..."
"Nggak pa-pa... Pokoknya kamu mesti nemenin aku pas pestanya Rosa.." paksaku.
"Memang itu tujuanku kok.. Aku mau kamu berbagi kebahagiaan denganku.. Pokoknya, jangan mentang-mentang dah jadian lagi ama Jason, aku ditelantarkan yah! Awas!" ancamnya sambil sok mengacung-acungkan tinjunya.
"Beres boss!" sorakku gembira..
Stanley memang selalu tahu kapan aku membutuhkanya...
0 komentar:
Post a Comment