4/22/11

Part 12

"Ca, maafkan aku.." ucap Rosa sesaat sebelum aku hendak masuk ke bagian imigrasi. Aku tersenyum kecil.
"Aku mengerti Sa... Kamu dalam posisi yang sulit." 
"Ca.. kamu masih sahabatku kan?" ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
Aku mengangguk. "Tentu Sa.. tapi beri aku waktu dulu ya.. Aku ingin melupakan semua ini..."
Rosa mengangguk dan memelukku sebelum akhirnya kami berpisah. Kupandangi awan-awan putih yang menutupi bumi dari balik jendela pesawat. Percakapanku di mobil dengan Rosa tadi masih terngiang jelas di benakku.

"Sudah berapa lama, Sa?" tanyaku getir.
Rosa diam sebentar, seolah bimbang haruskah ia berkata jujur atau haruskah ia membela kakaknya.
"Kita sahabat, kan?" desakku.
"Paling hanya dua minggu, Ca.. Kakakku tidak pernah serius dengan mereka.." jawab Rosa akhirnya.
"Mereka?" aku tersentak kaget.
Rosa jadi gelagapan. "Maksudku.. bukan begitu..." ia lalu memukul setirnya kesal.
"Baiklah, aku katakan sejujurnya Ca.. Aku pikir kamu berhak tahu semuanya." Rosa berhenti sesaat, menunggu reaksiku. aku diam, membiarkannya melanjukan kalimatnya.

"Seumur hidupnya, selain dirimu, ia hanya mencintai satu orang perempuan lagi. Namanya Sarah. Mereka sudah berpacaran cukup lama ketika kakaku tahu kalau Sarah ternyata sudah hampir menikah dengan orang lain. Kakakku hanya dijadikan pacar gelapnya. Kakakku pun tidak tahu apakah Sarah pernah benar-benar mencintainya seperti ia pernah mencintai perempuan itu.Sarah meninggalkannya begitu saja. Ia hampir jadi gila saat itu. Semenjak itulah ia berubah." Rosa berhenti sesaat.
"Ia terus mempermainkan perempuan. Ia memacari mereka, meniduri mereka lalu meninggalkannya begitu saja. Ia ingin menyakiti selayaknya ia pernah disakiti. Baginya cinta sejati itu tidak pernah ada.." 
Aku tertegun. Ternyata ada begitu banyak tentang Jason yang tidak pernah aku tahu. Apakah karena aku takut kehilangan dirinya sehingga aku tidak pernah bertanya tentang masa lalunya... Apakah ini salahku semata?

"Ia berubah sewaktu ia berkenalan denganmu. Ia benar-benar jatuh cinta lagi... Tapi ia takut.. Ia pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi.. lagi pula perkenalan kalian terlalu cepat...."

Jadi itu sebabnya ia sempat menolak pertunangan kami.. Itulah juga sebabnya ia pernah mengatakan padaku, "Aku suka cewek yang bisa membuatku jatuh cinta..". Aku telah membuatnya jatuh cinta, sesuatu yang ia benci..

"Kalau ia memang mencintaiku, kenapa ia melakukan ini padaku?" tanyaku pilu. 
Rosa menghela napasnya. "Kamu tahu kenapa ia ingin bersikeras tetap di Sidney? karena ia belum siap dengan komitmen.. karena ia takut ia berharap terlalu banyak darimu... Terlalu banyak pertimbngan yang membuatnya memilih untuk berpisah sementara darimu.. Ia telah mencoba sebisa mungkin untuk setia padamu namun.." Rosa terdiam sesaat. "Ia masih tidak bisa lepas dari bayang-bayang Sarah. Terutama belum lama ini seorang teman lama kembali menghubungi dia.. Mengungkit Sarah lagi.. dan ternyata Sarah mengetahui pertunangan denganmu.. Aku tidak begitu tahu apa yang mereka bicarakan tapi yang pasti emosi Jason langsung jadi labil... Ia kembali seperti dulu..."

"Kalau ia merasa belum pasti dan belum  bisa melepas kehidupan lamanya, kenapa ia tetap mau bertunangan denganku?" potongku.
Rosa membalas tatapan mataku. "karena di sisi lain, ia tidak mau kehilanganmu... karena jauh di lubuk hatinya, ia masih percaya kalau Tuhan memberikannya untuknya.. Itulah sebabnya ia terus berupaya terlihat seperti Jason yang kamu dulu kenal sekalip.." 
"Tidak usah diteruskan.." Aku membuang mukaku, menggigit bibirku sendiri.. Mengapa aku merasa ini semua tidak begitu adil bagiku.. aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi..

Rosa meremas tanganku lembut. "Beri Jason waktu.. Hanya itu yang ia butuhkan... Aku tahu, ia memilihmu lebih daripada Sarah walau ia sendiri tidak menyadarinya.."
Aku terus diam seribu bahasa. Bagiku semuanya sudah jelas. Terlalu jelas sehingga hati ini begitu sakit rasanya...


Part 11

"Bianca!!" teriaknya tertahan. Aku tersenyum dan langsung memeluknya. Lalu kulihat Jason muncul, hanya mengenakan celana boxer pendek. Aku tersenyum dan hampir memanggilnya ketika aku sadar ia sedang merangkul seorang perempuan yang tidak pernah aku kenal. Perempuan itu juga hanya mengenakan pakaian tidur seadanya. Jason masih mengucek-ucek matanya. 

"Siapa Sa? kok bisa masuk sini?" tanyanya pada Rosa. Sementara yang ditanya tidak berani menoleh ke belakang. 
Tersentak, kulepaskan pelukanku. Jason juga segera menyadari kehadiranku disitu dan buru-buru melepaskan rangkulannya. Terlambat... aku sudah melihatnya.. Belum sempat seseorang mengucapkan sepatah kata pun, aku langsung berbalik dan pergi, menekan-nekan tombol lift denga tidak sabar.

"Bianca! Tunggu!" kudengar Jason berlari dan mengejarku. Ia lalu mencengkeram lenganku keras, membuatkku tak mampu berontak. Aku berbalik menatapnya namun pandanganku kabur, tertutup oleh air mata yang sudah siap mengalir. Ia tidak mengucapkan apa-apa. Ia menarikku ke pelikannya dengan paksa.

Aku hanya bisa menangis seraya sesekali memukul bahunya yang bidang itu. Perempuan itu beranjak mendekati kami. Ia berdiri di belakangku, tepat berhadapan dengan Jason.

"Ini pacarmu?" tanyanya sinis. "Bukan." Jason menjawab mantap. "Ia tunanganku.." sambungnya seraya mempererat pelukannya seolah ingin melindungiku. Tangisku makin menjadi mendengar jawaban Jason itu.

Perempuan itu mendengus marah. " Kalau begitu, kau dalam masalah besar sekarang... Bagus, kau rasakanlah akibat dari perbuatanmu sendiri!" bentaknya setengah berteriak.
Lalu aku mendengar suara tamparan. Aku menolehkan wajahku dan melihat Jason sedang memegang sebelah pipinya. "Tamparan itu untukku. Dan ini untuk tunanganmu." Ia lalu menampar Jason lagi.
Kulihat mata perempuan itu menyala oleh api amarah namun aku tahu ia juga tengah menahan air mata yang sudah mulai membasahi matanya. Aku tahu ia sama sedihnya denganku. Hanya saja, ia sedikit lebih kuat dariku...

Perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya kepadaku. "Kurasa kau pun tahu, jahanam ini tidak pantas untukmu.." ucapnya sebelum berlalu. 
Kulihat ia masuk ke dalam lift yang sudah terbuka sambil menenteng pakaian dalam tasnya. Ia sama sekali tidak menoleh lagi ke arah kami...


Mataku menerawang kosong. Aku sudah lelah menangis. Rosa sedari tadi merangkulku. Jason juga hanya duduk memandangku. Belum ada di antara kami yang bicara semenjak Rosa mengajakku masuk ke apartement mereka untuk menenangkan diriku. Mereka berdua seolah menungguku untuk bicara terlebih dahulu.

Aku bangkit dari dudukku. "Aku mau pulang". Ucapku mantap. Sebelum ada di antara mereka yang mencegahku, aku menoleh ke arah Rosa, "Kamu mau antar aku ke airport kan?" 
Rosa menoleh ke arahku dan kakaknya bergantian. "Kalau kamu tidak mau, aku bisa pergi sendiri." Ucapku akhirnya mengangkat barang-barangku.

"Tunggu." Kudengar akhirnya Jason bersuara. Entah mengapa, air mata ini ingin mengalir lagi ketika mendengar suaranya. aku tidak menoleh. Ia berjalan menghampiriku dan menyentuh tanganku lembut. 
"Jangan pergi dulu. Kita harus bicara."

Aku menoleh, menatapnya tajam dan kusentakkan lenganku. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi Jason."
Aku pun membuka pintu apartment itu dan melangkah pergi. Rosa buru-buru mengambil kunci mobilnya.
"Ca, aku antar kamu.." ia membantuku membawa tasku dan berjalan bersamaku, meninggalkan Jason sendirian.
Ketika lift itu terbuka, kudengar Jason memanggilku sekali lagi. Aku masih tetap tidak menoleh. aku tetap melangkah masuk ke dalam lift itu.

"Bianca, aku akan menunggumu... walaupun harus seribu tahun..." kudengar suaranya bergetar sat mengucapkannya. Aku tak menjawab. Pintu lift itu tertutup dan barulah aku mulai menangis lagi... Rosa terus memelukku.

Hening... itulah yang kubutuhkan....




Part 10

Semenjak kuliahku selesai, aku tidak melakukan banyak hal selain membantu papa sedikit-sedikit perusahaannya. Sebenarnya Jason akan pulang saat wisudaku nanti, ia sudah berjanji..
Namun aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya karena wisudaku masih dua bulan lagi. Saat kau merindukan seseorang, dua bulan bisa jadi seperti penantian tanpa batas. Maka kuberanikan diriku untuk meminta ijin ke Sidney.

"Sudah tidak sabar mau ketemu calon suami yah?" ledek papa waktu aku mengutarakan niatku.
"Ah papa.. kayak nggak pernah pacaran aja.." ucapku manja.
"Papa nggak ada alasan melarangmu. Kamu pesan saja tiketnya.."
"Beneran pa?" ucapku girang.
"Kalau perlu pesan saja untuk dua bulan jadi kamu balik ke Jakarta-nya sama-sama dia" tambah mama lagi.
"Aduh, mama memang mama yang paling baik sedunia..." aku memeluk mama erat-erat.
"Oh ya, aku mau bikin surprise loh buat Jason dan Rosa, jadi mama dan papa jangan sampai keceplosan yah.." tambahku lagi.

Papa dan mama hanya tertawa melihat sikapku yang kekanak-kanakan itu...
Kupandangi refleksi wajahku di cermin. aku tersenyum puas melihat penampilanku. Kusisir rambutku yang sudah tumbuh panjang sekarang. Aku teringat Jason pernah bilang bahwa aku lebih cantik bila rambutku panjang. Mungkin itulah alasannya mengapa aku tidak pernah memotong rambutku. 
Aku tersenyum membayangkan dirinya melihatku sekarang. Aku tersenyum membayangkan perjumpaan kami sebentar lagi, melihat ekpresi terkejut di wajah tampannya.. Kubayangkan juga hari-hari yang akan aku lewati dengannya, menyusuri tempat-tempat indah yang selama ini selalu ia ceritakan padaku... Kurapihkan diriku lagi sebelum keluar dari kamar kecil itu. Kulangkahkan kakiku dengan mantap.

"Sidney, say hi to me..." pekikku girang dalam hati. Aku memandang bangunan tinggi yang menjulang di hadapanku. Taksi akan mengantarku sudah berlalu dari tadi. Kulihat lagi kertas bertuliskan alamat apartment Jason dan Rosa. Memang benar ini yang aku cari. Ketika aku hendak menekan intercom apartment mereka, kulihat sepasang suami istri berjalan dari pintu utama. Lalu ide iseng muncul di benakku. Sbelum pintu itu tertutup, aku buru-buru menyelinap masuk..

"Kalau aku langsung muncul di depan pintunya lebih mengejutkan lagi.." pikirku nakal. Kutekan tombol lift yang sesaat kemudian mengantarku ke lantai teratas dari bangunan tersebut.
Sewaktu aku mengetuk pintu itu, aku merasa jantungku yang justru terketuk. Lama tak dengar jawaban. "Mungkin mereka masih tidur.." aku melirik jam tanganku yang menunjukkan jam sembilan pagi lewat sedikit.
Hari ini hari minggu jadi wajar saja kalau mereka bangun agak siang. Kucoba lagi mengetuk pintu itu, agak lebih keras kali ini... Tak lama, Rosa membuka pintu itu, masih dengan pakaian tidur dan rambut yang agak berantakan. Matanya terbelalak ketika melihatku.

Part 9

Aku dan Rosa juga masih terus berhubungan. sadar atau tidak, kami sudah jadi sahabat baik. Anehnya, kami tidak terlalu banyak membicarakan Jason. Baik aku maupun dia sama-sama tidak pernah menyinggungnya. Aku merasa agak sungkan, lagipula aku tidak mau Jason berpikir bahwa aku kurang mempercainya. Kuliahku berjalan dengan lancar. Aku  tidak terlalu merasa tertekan. Entah mengapa, keberadaan Jason menambah kepercayaan diriku. 
Aku jadi tidak terlalu minder dan berprasangka buruk terhadap orang-orang sekitarku. Sungguh, aku banyak berubah. Aku lebih berani mendekati orang dan ternyata, tidak semua berpandangan negatif tentangku... Kupikir, dulu aku hidup dengan ketakutanku sendiri.. Aku yang tidak bisa menerima diriku, bukan mereka.. Kini di kampus aku punya banyak teman. Aku sangat menyayangkan karena diriku berubah di saat-saat terakhir kuliahku. Aku jadi tidak pernah benar-benar menikmati masa kuliah. Kadangkadang Jason kesal karena semenjak diriku mulai lebih terbuka, sudah ada beberapa teman laki-lakiku yang mencoba mendekatiku. Kalau sudah begitu, katanya aku lebih baik jadi pendiam dan tertutup seperti dulu. Namun aku tahu ia tidak pernah serius dengan ucapannya...
Jason juga cukup puas dengan pekerjaannya. Ia sudah beberapa kali dapat pujian dari atasannya dan menurutnya, sebentar lagi ia bisa naik jabatan. Kalau sudah mendengarnya bercerita begitu seru, aku jadi takut sendiri kalau-kalau ia tidak akan pernah kembali. Di sisi lain, aku bangga karena tunanganku bukan laki-laki yang hanya bisa mengandalkan orang tua.
Seperti yang sudah dibilang Rosa dulu, banyak sekali gadis yang ngantri untuk mendapatkan Jason. Bukannya cemburu, aku malah jadi geli sendiri mendengar cerita-ceita lucu tentang gadis-gadis itu. Mulai dari yang mengiriminya foto sampai mengirimkan lagu lewat radio tiap weekend.
Hubungan kami berjalan begitu lancar.. begitu sempurna... Hingga tidak terasa aku sudah menyelesaikan kuliahku.

Part 8

Pesta pertunangan kami berjalan dengan lancar. Sejujurnya, tidak ada yang terlalu istimewa di hari itu kecuali perasaanku. Bahagia dan terharu mungkin tidak cukup untuk mendeskripsikannya. Jason selalu ada di sampingku sepanjang acara itu. Ia senantiasa menggenggam erat tanganku atau sesekali merangkul pinggangku. Kudengar tamu-tamu memuji kami yang terlihat agak berbeda malam itu. Sedih rasanya waktu pesta itu berakhir dan membayangkan Jason akan segera meninggalkanku. Namun cincin yang kini terselip di jari manisku mampu membuat hatiku agak lebih cerah.
Malam itu, Jason mencium bibirku untuk pertama kalinya.. Ciuman yang lembut.. tepat seperti yang aku impikan, ciuman pertama yang membuatku menangis sebaliknya dari tersenyum... Jason memang memenuhi semua anganku.. Ia terlalu sempurna sehingga aku merasa semua ini hanya mimpi. Ketika Jason harus pergi dari sisiku, aku melepas kepergiannya dengan tabah. Aku tahutangisanku tidak akan merubah keputusannya. Sebaliknya, aku tersenyum karena aku tahu ia akan kembali ke sisiku.
Mungkin perpisahan sementara ini adalah yang terbaik bagi kami berdua. Mungkin dengan begitu, cinta yang murni bisa berkembang di antara kami. Apabila kami bisa melewati semua ini, maka tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan kami nantinya.

"Aku nggak nyangka kamu tidak nangis.." Jason tersenyum meledekku. Ia sudah hendak check-in namun ia minta waktu untuk berdua saja denganku.
"Aku menangis disini.." aku menunjuk hatiku. Kurasakan suaraku bergetar saat mengucapkannya. Jason menarik tubuhku mendekat kepadanya. Ia lalu sedikit membungkuk dan menempelkan keningnya di keningku. Matanya menatapku begitu dalam seolah ingin melihat apa yang ada di balik bola mataku.
"Terima kasih... Seandainya kamu menangis, hatiku juga jadi susah.. " Ia lalu mengecup keningku.
"Aku pasti kembali lagi... jaga cinta kita.." Dan ia memelukku begitu erat. Kugigit bibirku kuat-kuat untuk menahan air mata yang sudah di pelupuk mataku.
"Sudah...ayo check-in sana... Rosa udah nungguin... Nanti langsung telepon aku yah.." kulepas pelukannya dan kucoba mengucapkan kata perpisahan dengan nada ceria...
Ia tersenyum dan mengangguk pasti. Ia lalu berjalan ke arah Rosa dan mereka berdua melambaikan tangan kepadaku. Ketika mereka berdua berlalu dari pandanganku, air mataku tumpah...



Part 7

Rosa adalah adik Jason yang juga tinggal di Sidney. Aku hanya pernah melihat fotonya di foto keluarga yang dipajang di rumah mereka. Rosa adalah satu-satunya saudara yang dimiliki Jason. Setidaknya ia masih lebih baik dariku yang hanya sendirian. Sejujurnya, aku sangat mengharapkan memiliki seorang saudara perempuan dan aku berharap Rosa bisa menerimaku.
Ketika bertemu dengan Rosa di airport, ia ternyata jauh lebih cantik dari yang di foto. Tidak seperti yang kubayangkan, anaknya lincah dan enerjik, membuat suasana di sekitarnya selalu meriah. Sebentar saja aku sudah akrab dengan Rosa. Banyak kecocokan di antara kami walaupun dia lebih kecil sekitar empat tahun dariku.

"Wahhh. kalian deg-degan enggak nih besok sudah mau tunangan?" goda Rosa saat kami makan malam bertiga. Sebenarnya Rosa ingin aku melewatkan malam tersebut hanya berdua dengan kakaknya namun aku yang memaksanya ikut.
"Bukan deg-degan tapi sedih, Sa.." jawabku.
"Sedih?" tanya Jason kaget, membuatku dan Rosa tersenyum geli.
"Gimana nggak sedih? mana ada orang yang baru tunangan dua hari langsung ditinggal?" sahut Rosa seperti bisa membaca pikiranku.

"Ohh..aku ke Sidney kan bukan buat selamanya..."
"Kenapa sih kamu enggak batalin tawaran kerja di Sidney dan kerja sama papa aja?" aku agak sedikit terkejut dengan pertanyaan Rosa yang agak blak-blakan walaupun pertanyaan itu pernah juga terlintas dalam pikiranku.

Jason terdiam sebentar. "Aku kan sudah bilang alasannya.."
"Tapi itu sebelum kamu bertemu Bianca kan?"
"Prinsipku itu tidak bisa diubah.." dari nada bicara tersirat Jason tidak ingin melanjutkan percakapan itu.
Rosa menghela nafasnya dan menatapku. "Ca, kamu harus awasin bener-bener kakakku ini... Hati-hati, cewek yang ngejer dia ada sgudang.." candanya.
"Harusnya aku minta tolong kamu, Sa... kan kamu yang bisa ngawasin dia nanti..." balasku sambil tertawa kecil. Rosa lalu melirik ke arah Jason. "I'll try to my best.. we'll see.."
Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan ucapan Rosa tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Pikiranku sendiri berkecamuk dengan pertunanganku besok.

"Ca.." Jason membuyarkan lamunanku. "Mikirin besok yah?" sambungnya lembut. Aku mengangguk. Rosa memegang tanganku dan menggenggamnya erat.
"Everything will be fine.. Relax.." Jason mengangguk setuju dengan perkataan adiknya.
Lalu tiba-tiba kulihat Jason memberikan isyarat kepada seseorang, menyuruhnya untuk datang ke meja kami. Aku berpaling melihat siapa orang tersebut. Ternyata seorang pemain bola. Ia menghampiri kami dan mulai memainkan lagu. Lagu yang sangat indah, sebuah lagu klasik yang begitu akrab di telingaku, Moonlight Sonata... Jason tahu aku suka memainkan lagu itu dengan piano kesayanganku... Wajahku langsung bersemu merah, benar-benar kikuk rasanya berada dalam keadaan seperti itu. Aku mencari-cari Rosa, berupaya untuk tidak menatap Jason.. Namun tampaknya Rosa sengaja menghilang saat itu, membiarkan diriku hanya berduaan dengan Jason. Aku melihat orang-orang di sekeliling restoran itu menatapku untuk menoleh ke arah Jason. Ia memang sedang menungguku menatapnya. Ia tersenyum simpul, sedikit terlihat menahan tawa melihat sikapku yang malu-malu itu... Ia lalu mengulurkan tangannya, mengajakku berdansa. Aku menatapnya terkejut. Aku ingin menolak namun aku tahu berpasang-pasang mata sedang memperhatikan kami saat itu. akhirnya aku sambut uluran tangannya dan kami beranjak ke lantai dansa.
Musik terus mengalun, samar-samar menutupi bunyi detak jantungku. Ia mendekap tubuhku erat, tubuh kami pun bersatu, bergerak perlahan... terbawa suasana.. Beberapa pasangan juga mulai turun dan mulai berdansa. Aku tersenyum, merasa agak rileks. Aku menopangkan daguku di bahunya. Kudengar ia berbisik pelan, "Terima Kasih.." lalu ia mencium telingaku lembut. Hanya dua kata yang singkat namun membuatku merasa begitu di hargai, begitu dipuja.. dan di atas segalanya, begitu dicintai...
Aku merenggangkan pelukanku. Kuberanikan diriku untuk menatapnya. Lalu kaki kami sama-sama terhenti. Kami berdua mematung di tengah-tengah pasangan-pasangan lain yang sedang berdansa. Kami berdua bertatapan cukup lama saat itu. Melihat tatapan matanya yang begitu dalam dan hangat aku yakin aku adalah gadis yang paling beruntung di dunia ini. Aku percaya, keputusanku untuk menerima pertunangan ini tak akan pernah kusesali.



Part 6

Sudah tiga hari Jason tidak menghubungiku semenjak kejadian itu. Aku juga tidak pernah mencoba menghubunginya atau menanyakan tentangnya kepada orang tuaku. Mereka sendiri tampaknya juga kecewa dengan sikap Jason malam itu. Sejujurnya, aku sudah merasa malu dan putus asa... Aku berpikir ia mempunyai perasaan yang sama... Kalau tidak, mengapa ia begitu baik padaku? Mengapa ia selalu memberi perhatian lebih padaku? Ah... pertanyaan yang tidak ada ujungnya... Lebih baik kupendam semuanya sendiri, bersama dengan air mata yang hampir kering ini...

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku hampir tidak percaya ketika melihat mama Jason tertera di layar handphone-ku sore itu. Aku ingin sekali menjawab telpon itu tapi ada sesuatu dalam diriku yang mencegahnya... Kebimbangan terus berkecamuk dalam hatiku sampai akhirnya telpon itu terputus. Kumaki diriku sendiri dan kusesali diriku karena teidak mengangkat telpon darinya.
Kupandangi layar handphone-ku terus-menerus, berharap ia menelponku lagi. Ternyata harapanku membuahkan hasil. Tidak lama ia menelponku lagi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya.

"Hallo.."ucapku pelan dan agak berhati-hati.
"Ca, pakai gaun biru yang kita beli sama-sama untuk Sabtu depan.." "Apa??" tanyaku kebingungan, kaget dengan ucapan Jason yang tanpa basa-basi itu. Kupikir ia akan akan meminta maaf tentang kejadian waktu itu.
"Sabtu depan kita tunangan..." Kebingunganku sirna, diganti oleh rasa terkejut dan sedikit khawatir.
"Jas... kayaknya kita perlu bicara lagi.. Kamu harus jelasin kenapa.."
"Aku mencintaimu." potongnya cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Aku terdiam sesaat. 
Setelah itu, hanya isakan tangisku yang terdengar. Ia juga diam seribu bahasa. Bibir kami sama-sama terkunci saat itu. Tidak lama ia datang ke rumahku.
Sewaktu aku turun dari kamar, klihat ia sedang duduk di ruang tamu menantiku. Aku menatapnya dari belakang. Rasanya aku bisa mendengar detak jantungku sendiri saat itu. Pelan-pelan kuhampiri dia dan duduk di hadapannya dengan tatapan yang menghindar darinya.
Di luar dugaanku, ia menghampiriku, bersujud di dekat kakiku dan meraih tanganku.
"Sudikah kau bertunangan denganku, Bianca Fransesca Prananto?" ia mengecup tanganku lembut lalu menyelipkan sebuah cincin ke dalam genggaman tanganku.
Aku bisa merasakan air mataku kembali menetes dari mataku yang sembab. Tapi kini seuntai senyuman menghiasi wajahku. Ia lalu bangkit dan memelukku.
"Maaf.." kudengar ia berbisik pelan.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

 Suasana sore itu begitu tenang dan damai. Aku dan Jason baru saja pulang dari mengurus semuanya, lagipula tidak terlalu banyak yang diurus mengingat pesta ini hanya dihadiri oleh keluarga dan teman terdekat saja. Namun Jason bersikeras ingin ikut campur dalam segala persiapannya.
Hari ini sudah hari senin. Lima hari lagi adalah hari pertunangan kami. Terus terang, aku merasa ini semua berlangsung terlalu cepat.
"Kok ngelamun, Ca?" Jason menyentuh tanganku lembut sambil masih berkonsentrasi menyetir. Aku mengalihkan pandanganku yang sedari tadi memandang keluar jendela.
"Aku cuma merasa ini tidak nyata... Semuanya terlalu cepat.. Maksudku kita baru berkenalan belum sampai dua bulan tapi kita sudah bertunangan lima hari lagi..."
"Kita kan hanya bertunangan, belum menikah... Pertunangan ini kan hanya sebagai tanda ikatan antara kita berdua mengingat aku harus kembali ke Sidney minggu depan... Kita masih punya banyak waktu untuk saling mengenal... Kita toh tidak perlu buru-buru menikah kan? atau jangan-jangan kamu dah nggak sabar ya?" pertanyaannya membuat pipiku bersemu merah. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke luar jendela.

"Jas, kamu belum menjawab pertanyaanku dulu.." ucapku memberanikan diri.
"Pertanyaan yang mana, Ca?"
"Kenapa malam itu reaksimu seperti itu?" aku kembali mengungkit persoalan malam ketika ia secara tidak langsung menolak perjodohan kami. Ia selalu menghindar setiap kali aku mencoba menanyakannya. Jason menghela napasnya, seolah merasa bosan dengan pertanyaanku. 
"Apa itu masih penting sekarang?" 
"Masih... karena aku ingin tahu apa yang membuatmu ragu?" paksaku
"Hmm.. entah lah.. Life is complicated.." jawabnya masih penuh teka-teki.
"Sudah lah.. Aku mohon, jangan bahas ini lagi.."
Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tampaknya percuma saja... Lagipula memang tidak ada gunanya aku tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun. Jadi, kukesampingkan egoku dan membuang keingintahuanku itu.

"Besok kita jemput Rossa, kamu nggak lupa kan?" aku hanya mengangguk.





Part 5

Waktu kami masuk, ternyata orang tua Jason memang sedang bertamu ke rumahku. Aku langsung duduk di sebelah papa sementara Jason duduk sendiri terpisah.
"Abis kemana aja kalian?" tanya mama lembut. "Tadi Bianca nemenin Jason belanja doank kok ma..." jawabku sambil mencuri pandang ke arah Jason. Ternyata ia sedang menatapku juga. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku.
"Papa mama kok bisa kebetulan di sini juga?" kudengar Jason angkat bicara. "Kami memang mau ngomong sama kalian berdua.." jawab ayahnya dengan suara agak berat. Jarang sekali aku mendengarnya berbicara. Kulihat ia melirik ke arah istrinya, seolah meminta istri melanjutkan kata-katanya.

"Begini Jason... kami lihat kalian berdua sangat cocok sekali..." Jantungku berdegup menunggu kata-katanya selanjutnya. Lago-lagi ak tundukkan wajahku.
"Jadi kami berpikir mungkin akan sangat baik kalau kalian dijodohkan... Setidaknya bertunangan dulu sebelum kamu kembali ke Sidney... Mama dan Papa sudah kenal dekat dengan orang tua Bianca. Kamu juga sudah cukup umur untuk memulai hubungan yang serius.."

Aku merasa ini seperti mimpi, atau seperti kisah dalam novel... Aku baru saja jatuh cinta, untuk pertama kalinya... dan langsung dijodohkan... Segalanya yang kudengar seperti tidak nyata. Sekuat tenaga kutahan diriku untuk tidak bersorak kegirangan. Lalu aku memberanikan diri menatap ke arah Jason.
Tidak seperti yang kuduga, kulihat raut wajahnya berubah. Tidak ada tanda-tanda kebahagiaan disana.. Wajah itu menjadi keras dan angkuh, tepat seperti waktu aku pertama kali melihatnya. Hatiku seperti ditusuk melihat reaksinya...
Jason lalu berdiri dari duduknya. "Aku minta waktu untuk berpikir..." ia pun beranjak pergi begitu saja. Menoleh ke arahku pun tidak. Duniaku seperti gelap saat itu. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang kuingat, aku berlari ke kamarku dan mengunci diriku di sana. Semalaman itu aku menangis sendiri...
Ternyata Jason sama dengan yang lainnya...

Part 4

Sore itu Jason mengajakku ke mall. Ia memintaku menemaninya berbelanja.
"Ca, sini sebentar.." Jason masuk ke salah satu butik pakaian permpuan. 
"Ngapain sih? kamu mau beli baju buat mama kamu juga?" aku hanya mengikutinya dari belakang. Ia lalu mengambil sebuah gaun malam, menyodorkannya kepadaku.
"Cobain yang ini.."Aku menatapnya heran. "Udahh... ayo cepetan..." ia mendorongku ke kamar ganti. "Jason, ini nggak cocok buat aku.." aku mengamati gaun biru muda dengan sulaman bunga bertebaran di bagian bawahnya.
Memang manis sekali.. Jason hanya memberiku isyarat untuk diam dan segera mencoba gaun itu. Setengah hati, aku menurutinya.
"Pas sekali..." ia berdecak kagum ketika melihatku mengenakan gaun itu. 
"Saya ambil yang itu ya.." ia lalu berkata kepada pramuniaga yang berdiri di sampingnya. 
Jason memaksa membelikanku gaun itu. Sebagai tanda terima kasihnya karena aku telah menemaninya berbelanja sore itu. Alasan yang aneh menurutku.. Kami lalu makan malam di salah satu restoran dan berbincang-bincang sambil menunggu pesanan kami datang. Percakapan yang tidak pernah aku lupakan.

"Kapan kamu balik ke Sydney?" tanyaku membuka percakapan kami.
"Kenapa? udah bosen nemeni aku ya?" "Eh.. bukan begitu lah.. Cuma mau tau aja.." 
Jason menyenderkan tubuhnya ke kursi dan menghela napasnya. "Sekitar satu atau dua minggu lagi...".
"Oh.." hanya itu yang keluar dari mulutku. Ia lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan dirinya." 
"Kalau aku pergi, kamu kesepian?" ia tersenyum nakal. 
Aku sungguh tidak bisa menjawab apa-apa. Bibirku seperti terkunci dan aku hanya bisa menunduk. Aku juga tidak mengerti mengapa aku jadi seperti itu. Sungguh memalukan..

"Ca, kamu suka cowok kayak apa sih?" tanyanya mengalihkan topik, namun pertanyaannya masih membuat jantungku berdetak kencang.
"Aku? Uhmm.. Aku suka..." aku berpikir sebentar. "Aku suka cowok yang mau menantiku selama seribu tahun lamanya..." jawabku akhirnya dengan mantap.
Ia menatapku heran. "Aku tidak pernah dengarjawaban seperti itu sebelumnnya.."
"Memangnya sudah berapa orang yang kamu tanya seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Ia tertawa ringan. Ia tidak menjawab apa-apa.
"Kalau kamu? kamu suka yang seperti apa?" tanyaku balik.
"Aku?" ia diam sebentar. "Aku suka cewek yang membuatku jatuh cinta padanya..."sambungnya.
"Jawabanmu lebih aneh lagi..." aku tertawa kecil, merasa agak sedikit lepas dari kegugupanku. 
Jason mengangkat bahunya cuek. 
"Ca, kamu lebih cantik kalau kamu panjangin rambutmu.." ucapnya tiba-tiba. Kini aku yang terdiam.

"Kenapa kamu belum punya pacar?" tanyanya kemudian. "Aku yakin banyak cowok ngantri untuk jadi pacarmu.."
"Aku belum menemukan yang pas..." jawabku diplomatis. 
"Pernah jatuh cinta?" tanyanya lagi, menyudutkanku. 
"Rahasia.." jawabku malu-malu, mengaduk-aduk minuman yang baru diantar. 
Walaupun kepalaku tertunduk, aku tahu ia sedang menatapku. Sejujurnya, saat itu aku sadar bahwa aku sudah mulai jatuh cinta kepadanya... Jatuh cinta untuk pertama kalinya...

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Sesampainya di depan rumahku, aku sudah hendak membuka pintu mobil sewaktu ia menarik tangaku, mencegahku untuk keluar. 
"Ada apa?" tanyaku antara bingung dan juga malu karena aku juga menikmati sentuhan tangannya. 
Ia menatapku sesaat... beberapa detik yangterasa begitu lama untukku.
"Nggak pa-pa... Maaf.." ia melepaskan tanganku pelan. "Good night, sweet dream.." senyumnya.
Aneh... aku agak sedikit kecewa saat itu. aku hanya bisa membalas senyumannya dan beranjak keluar. Lalu aku melihat mobil ayah Jason diparkir di dalam garasi rumahku.

"Jas, itu bukannya mobil papamu?" tanyaku agak sedikit terkejut. Jason menatap ke arah yang kutunjuk dan ternyata ia juga sama herannya dengan aku. 
"Kamu turun aja dulu..."akhirnya kuberanikan diriku. Jason hanya mengangguk-angguk dan mematikan mesin mobilnya.