12/28/10

Part 3

Ia bersandar ke mobil mewahnya dengan gayanya yg angkuh. Tangannya dimasukkan ke saku celananya dan dari balik kacamata hitamnya, matanya seperti sibuk mencari-cari sesuatu. Aku hampir tidak percaya ketika melihatnya di lapangan parkir kampus sore itu. Buru-buru aku menghampirinya.

"Jason? Ngapain di sini?" Sapaku sambi tertawa kecil, menyembunyikan rasa grogiku. "Ca, Aku mau ajak kamu jalan." Ucapnya dengan senyum lebar tersungging di bibir merahnya. 
Aku terkesiap mendengarnya. Ini pertama kalinya dia mengajakku pergi berdua saja. Aku melirik ke mobilnya, mencari-cari supirnya. "Supirnya mana?" Tanyaku polos. "Aku yg nyetir donk!" Ucapnya bangga. "Hah? Nggak mau ah.. Kamu kan nggak bisa nyetir di sini.." Sahutku pura-pura panik. "Jangan takut, aku dah latihan dari kemaren.." Ia lalu berjlan melewatiku dan membukakan pintu mobil untukku. "Silahkan masuk, tuan putri." Aku bisa merasakan tatapan-tatapan yg tertuju padaku saat itu. Bagaimana tidak, sore itu lapangan parkir sedang ramai-ramainya dan tiba-tiba saja ia datang dengan semua keglamourannya. Ditambah lagi statusku yg memang kurang mengenakkan di kampus ini. Merasa tidak enak, aku memilih untuk buru-buru masuk ke mobil sebelum mereka menganggap aku sedang pamer cowok.

"Kok diem Ca?" Tanya Jason sedikit tidak enak. " Lain kali enggak usah jemput aku..." Jawabku pelan. "Kenapa sih memangnya? Enggak enak ama anak-anak kampus? Biarin aja ah.." Sahut Jason cuek. Ia sibuk mencari-cari lagu yg bagus dari CD chargernya.
"Nanti aku diomongin yg macem-macem.." "Diomongin apa sih?" Tanyanya, kali ini agak lebih serius. "Yah... Apa kek gitu.. Kamu kan tahu bagaimana sikap mereka sama aku.. Mereka tuh nggak suka sama aku.." Jawabku, agak sedikit sedih mengingat-ingat cela'an apa saja yg pernah ditujukan kepadaku... "Mereka cuma sirik sama kamu... Udah pinter, kaya, cakep lagi... Plus dijemput ama cowok keren begini... Kayaknya emang mereka bakalan makin sebel sama kamu sih.." Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri mendengar ucapannya.

Entah kenapa, Jason bisa membuatku merasa dihargai dan berarti meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung.
Jason adalah orang pertama yang bisa membuatku merasa bahagia seperti ini. Sejak kecil, sikapku yang tertutup dan pemalu membuat orang-orang berpikir bahwa aku ini sombong. Bahkan sebelum mengenalku pun, mereka sudah memasang tatapan tidak suka ketika melihatku. Penampilanku juga sebenarnya biasa saja. Tapi selalu ada yang dikritik oleh mereka. Sok pamer lah, sok cakep lah, atau sok sopan. 
Seraya bertambah dewasa, orang-orang mulai selalu menghubungkanku dengan orang tuaku yang terkenal. Nilai-nilaiku yang bagus karena hasil kepintaranku sendiri juga selalu diragukan. Sikap dosen yang menghormatiku dikatakan semata-mata hanya ingin menjilat. Aku tidak pernah benar-benar punya teman. Yang selalu menemaniku hanyalah gunjingan dari mereka yang tidak menyukaiku. Aku tidak pernah mengerti alasannya...

Part 2

"Bianca, kenalan sini sama Jason."
Aku baru saja pulang dari kampus waktu Mama memanggilku. Aku duduk di sebelah mama dan mengulurkan tanganku kepada laki-laki yg dimaksud mama itu. 

"Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas Uluran tanganku singkat lalu melepaskannya lagi.

"Bianca, Jason ini lagi Liburan dari Sidney. Kuliah kamu kan juga sebentar libur, bisa kan kamu temenin Jason kalau dia mau jalan-jalan?" Aku menatap mama heran karena permintaan Mama terdengar janggal sekali. "Ok" jawabku singkat, malas memperpanjang percakapan di depan orang yg tidak kukenal.

"Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca.." Mama Jason tiba-tiba angkat bicara. Aku baru ingat bahwa Aku belum berkenalan dengan dua orang lagi yg duduk di sebelah Jason. Buru-buru Aku berdiri dan menyalami mereka. "Kayaknya kita yg tua-tua ngobrol di belakang aja yuk.. "Papa lalu membawa orang tua Jason ke taman belakang, meninggalkanku dan Jason berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung sekali karena aku memang bukan orang yg mudah bergaul.

"Bianca.." Panggilannya membuatku sedikit terkejut. "Ya?" Ia lalu melambai-lambaikan handphone-nya. Nomormu?" Tanyanya singkat seraya memberikan benda itu kepadaku. "Oh.." Jawabku gugup. Kusimpan nomor handphone-ku di memori buku Telponnya.
"Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu juga punya nomorku" ucapnya sewaktu aku hendak mengembalikan handphone-nya. "Oh.." Ucapku lagi. Aku benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih tepat. Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya heran. "Untung mama kamu dah bilang kalau kamu anaknya pendiam dan pemalu..." Ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri yg kecoklatan. Aku dapat merasakn pipiku memerah saat itu. Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh seperti yg aku bayangkan. Kami ngobrol cukup lama. Walaupun aku agak kaku pada awalnya, ia berhasil membuat suasan lebih santai dengan cerita-cerita konyolnya.

Jason Tjiputra. Ia besar di Sidney dan jarang pulang ke Jakarta. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya dan sedang mencari pekerjaan. Papanya sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga mereka namun ia bersikeras ingin mencari pengalaman dulu di sana. Sementara ia menunggu lamarannya diterima, ia pulang kembali ke tanah air. 

Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan sesekali pergi bersama keluarganya, kami mulai jadi dekat. Sesekali waktu, ia bahkan nekat menjemputku di Kampus. Sesuatu yg membuat geger anak-anak di kampusku. Kejadian itu masih segar dalam ingatanku, karena pada hari yg sama itulah, sesuatu merubah hidupku.

12/26/10

Part 1

Handphone-ku bergetar. Dengan enggan kubaca nama penelponnya.
Private number...

Setelah berapa saat aq menimang-nimang, akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telpon itu. "Hallo."Sapaku.
"Hallo Ca, ini Rosa." "Rosa?" Ucapku agak terkejut. "Sudah terima undangannya?" Tanya Rosa agak terburu-buru. Suasana hiruk-pikuk disekitarnya terdengar samar-samar. "Undangan?" Buru-buru aku berjalan ke arah meja ruang tamu, menahan rasa pusing yg langsung muncul ketika aku bangun dari tempat tidur, langsung mencari-cari undangan yg disebutkan oleh Rosa. Ternyata housemateku menaruhnya di bawah tumpukan koran. "Iya, aku post beberapa hari yg lalu. Harusnya sudah sampai tadi pagi." "Oh, iya.. Ada nih.. Undangan siapa sih ini?" Kubuka undangan itu dan terkesiap melihat nama pengantin permpuannya. Rossa! Kamu mau merried? Kenapa enggak cerita di email? Ngagetin banget.."Aku masih belum pulih dari keterkejutanku. Kulihat nama pengantin prianya, memang pria yg Rosa Pacari dua tahun terakhir ini. Rosa tertawa senang mendengar keterkejutanku. "Ca, itu undangan belum disebar loh.. Aku kasih kamu duluan sekalian bikin kejutan supaya kamu orang pertama yg tahu.. "Ucapnya senang."Ya ampun Sa.. Kamu hampir bikin aku jantungan, tau gak?" Ucapku tanpa bisa menyembunyikan kesenangan yg aku rasakan saat itu.

"Ca, aku lagi buru-buru nih.. Nanti aku kirim email lagi yah.. "Lalu Rosa mengakhiri percakapan singkat kami. Aku merebahkan diriku di atas sofa. Kupandangi lagi undangan yg masih kupegang. Rosa... Berapa umurnya sekarang? 23? Waktu memang singkat sekali berlalu... Aku sendiri sudah 27 tahun.. Sudah bisa kutebak
Reaksi mama kalau tahu tentang hal ini nanti. Pernikahan Rosa memang alasan yg tepat untuk menyuruhku cepat-cepat cari pacar dan menikah. Aku tahu maksud baik mama... Tapi entah mengapa hati ini masih tidak bisa menerima cinta yg lain. Hati ini seolah-olah masih diikat olehnya, oleh pria yg selalu ada di setiap sudut
benakku, yg berada nan jauh disana.. Umurku kira-kira sama dengan Rosa waktu papa mama mengenalku dengannya. Aku sedang kuliah tahun terakhir pada saat itu. Ia sedang liburan di Jakarta, dan orang tuanya yg merupakan teman baik orang tuaku membawanya ke rumah kami. Aku Masih ingat kesan pertama yg kudapat sewaktu melihatnya. Tampan namun Angkuh.