Sudah tiga hari Jason tidak menghubungiku semenjak kejadian itu. Aku juga tidak pernah mencoba menghubunginya atau menanyakan tentangnya kepada orang tuaku. Mereka sendiri tampaknya juga kecewa dengan sikap Jason malam itu. Sejujurnya, aku sudah merasa malu dan putus asa... Aku berpikir ia mempunyai perasaan yang sama... Kalau tidak, mengapa ia begitu baik padaku? Mengapa ia selalu memberi perhatian lebih padaku? Ah... pertanyaan yang tidak ada ujungnya... Lebih baik kupendam semuanya sendiri, bersama dengan air mata yang hampir kering ini...
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku hampir tidak percaya ketika melihat mama Jason tertera di layar handphone-ku sore itu. Aku ingin sekali menjawab telpon itu tapi ada sesuatu dalam diriku yang mencegahnya... Kebimbangan terus berkecamuk dalam hatiku sampai akhirnya telpon itu terputus. Kumaki diriku sendiri dan kusesali diriku karena teidak mengangkat telpon darinya.
Kupandangi layar handphone-ku terus-menerus, berharap ia menelponku lagi. Ternyata harapanku membuahkan hasil. Tidak lama ia menelponku lagi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkatnya.
"Hallo.."ucapku pelan dan agak berhati-hati.
"Ca, pakai gaun biru yang kita beli sama-sama untuk Sabtu depan.." "Apa??" tanyaku kebingungan, kaget dengan ucapan Jason yang tanpa basa-basi itu. Kupikir ia akan akan meminta maaf tentang kejadian waktu itu.
"Sabtu depan kita tunangan..." Kebingunganku sirna, diganti oleh rasa terkejut dan sedikit khawatir.
"Jas... kayaknya kita perlu bicara lagi.. Kamu harus jelasin kenapa.."
"Aku mencintaimu." potongnya cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Aku terdiam sesaat.
Setelah itu, hanya isakan tangisku yang terdengar. Ia juga diam seribu bahasa. Bibir kami sama-sama terkunci saat itu. Tidak lama ia datang ke rumahku.
Sewaktu aku turun dari kamar, klihat ia sedang duduk di ruang tamu menantiku. Aku menatapnya dari belakang. Rasanya aku bisa mendengar detak jantungku sendiri saat itu. Pelan-pelan kuhampiri dia dan duduk di hadapannya dengan tatapan yang menghindar darinya.
Di luar dugaanku, ia menghampiriku, bersujud di dekat kakiku dan meraih tanganku.
"Sudikah kau bertunangan denganku, Bianca Fransesca Prananto?" ia mengecup tanganku lembut lalu menyelipkan sebuah cincin ke dalam genggaman tanganku.
Aku bisa merasakan air mataku kembali menetes dari mataku yang sembab. Tapi kini seuntai senyuman menghiasi wajahku. Ia lalu bangkit dan memelukku.
"Maaf.." kudengar ia berbisik pelan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Suasana sore itu begitu tenang dan damai. Aku dan Jason baru saja pulang dari mengurus semuanya, lagipula tidak terlalu banyak yang diurus mengingat pesta ini hanya dihadiri oleh keluarga dan teman terdekat saja. Namun Jason bersikeras ingin ikut campur dalam segala persiapannya.
Hari ini sudah hari senin. Lima hari lagi adalah hari pertunangan kami. Terus terang, aku merasa ini semua berlangsung terlalu cepat.
"Kok ngelamun, Ca?" Jason menyentuh tanganku lembut sambil masih berkonsentrasi menyetir. Aku mengalihkan pandanganku yang sedari tadi memandang keluar jendela.
"Aku cuma merasa ini tidak nyata... Semuanya terlalu cepat.. Maksudku kita baru berkenalan belum sampai dua bulan tapi kita sudah bertunangan lima hari lagi..."
"Kita kan hanya bertunangan, belum menikah... Pertunangan ini kan hanya sebagai tanda ikatan antara kita berdua mengingat aku harus kembali ke Sidney minggu depan... Kita masih punya banyak waktu untuk saling mengenal... Kita toh tidak perlu buru-buru menikah kan? atau jangan-jangan kamu dah nggak sabar ya?" pertanyaannya membuat pipiku bersemu merah. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
"Jas, kamu belum menjawab pertanyaanku dulu.." ucapku memberanikan diri.
"Pertanyaan yang mana, Ca?"
"Kenapa malam itu reaksimu seperti itu?" aku kembali mengungkit persoalan malam ketika ia secara tidak langsung menolak perjodohan kami. Ia selalu menghindar setiap kali aku mencoba menanyakannya. Jason menghela napasnya, seolah merasa bosan dengan pertanyaanku.
"Apa itu masih penting sekarang?"
"Masih... karena aku ingin tahu apa yang membuatmu ragu?" paksaku
"Hmm.. entah lah.. Life is complicated.." jawabnya masih penuh teka-teki.
"Sudah lah.. Aku mohon, jangan bahas ini lagi.."
Aku tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tampaknya percuma saja... Lagipula memang tidak ada gunanya aku tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun. Jadi, kukesampingkan egoku dan membuang keingintahuanku itu.
"Besok kita jemput Rossa, kamu nggak lupa kan?" aku hanya mengangguk.
0 komentar:
Post a Comment