12/28/10

Part 2

"Bianca, kenalan sini sama Jason."
Aku baru saja pulang dari kampus waktu Mama memanggilku. Aku duduk di sebelah mama dan mengulurkan tanganku kepada laki-laki yg dimaksud mama itu. 

"Bianca" ucapku singkat. "Jason" ia membalas Uluran tanganku singkat lalu melepaskannya lagi.

"Bianca, Jason ini lagi Liburan dari Sidney. Kuliah kamu kan juga sebentar libur, bisa kan kamu temenin Jason kalau dia mau jalan-jalan?" Aku menatap mama heran karena permintaan Mama terdengar janggal sekali. "Ok" jawabku singkat, malas memperpanjang percakapan di depan orang yg tidak kukenal.

"Jason, kamu catet donk nomor telponnya Bianca.." Mama Jason tiba-tiba angkat bicara. Aku baru ingat bahwa Aku belum berkenalan dengan dua orang lagi yg duduk di sebelah Jason. Buru-buru Aku berdiri dan menyalami mereka. "Kayaknya kita yg tua-tua ngobrol di belakang aja yuk.. "Papa lalu membawa orang tua Jason ke taman belakang, meninggalkanku dan Jason berduaan. Sejujurnya aku merasa canggung sekali karena aku memang bukan orang yg mudah bergaul.

"Bianca.." Panggilannya membuatku sedikit terkejut. "Ya?" Ia lalu melambai-lambaikan handphone-nya. Nomormu?" Tanyanya singkat seraya memberikan benda itu kepadaku. "Oh.." Jawabku gugup. Kusimpan nomor handphone-ku di memori buku Telponnya.
"Kamu miss call ke handphone kamu aja supaya kamu juga punya nomorku" ucapnya sewaktu aku hendak mengembalikan handphone-nya. "Oh.." Ucapku lagi. Aku benar-benar merasa bodoh sekali. Malu mungkin lebih tepat. Lalu kudengar tawanya meledak. Aku menatapnya heran. "Untung mama kamu dah bilang kalau kamu anaknya pendiam dan pemalu..." Ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri yg kecoklatan. Aku dapat merasakn pipiku memerah saat itu. Anaknya ternyata cukup menyenangkan, tidak angkuh seperti yg aku bayangkan. Kami ngobrol cukup lama. Walaupun aku agak kaku pada awalnya, ia berhasil membuat suasan lebih santai dengan cerita-cerita konyolnya.

Jason Tjiputra. Ia besar di Sidney dan jarang pulang ke Jakarta. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya dan sedang mencari pekerjaan. Papanya sebenarnya menginginkan ia membantu usaha keluarga mereka namun ia bersikeras ingin mencari pengalaman dulu di sana. Sementara ia menunggu lamarannya diterima, ia pulang kembali ke tanah air. 

Dimulai dengan telpon-telponan tiap malam dan sesekali pergi bersama keluarganya, kami mulai jadi dekat. Sesekali waktu, ia bahkan nekat menjemputku di Kampus. Sesuatu yg membuat geger anak-anak di kampusku. Kejadian itu masih segar dalam ingatanku, karena pada hari yg sama itulah, sesuatu merubah hidupku.

0 komentar:

Post a Comment